Anggota Komisi I: Polemik Pembelian Senjata Harus Segera Diakhiri


Pernyataan Menteri Koordinator (Menko) bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Wiranto terkait pembelian senjata oleh Badan Intelijen Negara (BIN) sudah merupakan pernyataan sikap resmi dari pemerintah. Pernyataan Wiranto itu diharapkan dapat menyelesaikan polemik yang ada.
"Saya berharap dengan apa yang disampaikan Pak Wiranto tadi malam kegaduhan dapat segera diakhiri dan tidak ada polemik terkait hal ini lagi," ujar anggota Komisi I DPR RI Charles Honoris di Jakarta, Senin (25/9).
Wiranto memastikan tidak ada pengadaan senjata ilegal. Pengadaan senjata yang diungkap Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo adalah milik Badan Intelijen Negara (BIN). Jumlahnya juga bukan 5.000 pucuk, tetapi hanya 500 pucuk.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan menyayangkan penyampaian misinformasi oleh Panglima Jenderal Gatot Nurmantyo terkait upaya pembelian 5.000 senpi secara ilegal oleh institusi tertentu. Hal ini sudah menciptakan kegaduhan dan keresahan publik.
Menurut Charles, sebagai panglima TNI, tentunya Gatot harus bisa memilih dan memilah informasi apa saja yang layak disampaikan keluar.
"Saat ini kan sudah terbuka melalui pernyataan resmi Menko Polhukam bahwa ternyata institusi yang dimaksud oleh panglima TNI adalah BIN," katanya.
Charles mengatakan sangat tidak etis ketika seorang panglima TNI menyatakan akan menyerbu sebuah lembaga tinggi negara lainnya. Seharusnya, kata dia, Gatot sebagai pimpinan sebuah lembaga tinggi negara bisa berkoordinasi dengan baik dengan lembaga-lembaga lainnya untuk menyukseskan program kerja pemerintahan Jokowi.
Menjelang masa pensiun, saran Charles, Gatot bisa fokus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang tersisa dalam upaya membangun dan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas TNI.
"Fokus meninggalkan legacy yang baik sebagai seorang pimpinan TNI," katanya.
Sumber : BeritaSatu

Politisi PDI-P: Tidak Etis Panglima TNI Menyatakan Akan Menyerbu Lembaga Tinggi Negara


Anggota Komisi I DPR Charles Honoris menyayangkan penyampaian misinformasi oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo terkait upaya pembelian 5000 senjata api secara ilegal oleh institusi tertentu. Terlebih ucapannya itu membuat kegaduhan.
"Hal ini sudah menciptakan kegaduhan dan keresahan publik. Sebagai Panglima TNI tentunya Pak Gatot harus bisa memilih dan memilah informasi apa saja yang layak disampaikan keluar," kata Charles kepada Kompas.com, Senin (25/9/2017).
Charles mengatakan, saat ini sudah terbuka melalui statement resmi Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto bahwa ternyata institusi yang dimaksud oleh Panglima TNI adalah Badan Intelijen Negara. Pembelian senjata itu pun dilakukan secara legal untuk pendidikan di BIN.
"Sangat tidak etis ketika seorang Panglima TNI menyatakan akan menyerbu sebuah lembaga tinggi negara lainnya. Seharusnya Pak Gatot sebagai pimpinan sebuah lembaga tinggi negara bisa berkoordinasi dengan baik dengan lembaga-lembaga lainnya untuk mensukseskan program kerja pemerintahan Jokowi, bukan malah sebaliknya," ucap Charles.
Politisi PDI-P ini pun menyarankan, menjelang masa pensiun, Gatot bisa fokus menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang tersisa dalam upaya membangun dan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas TNI. Gatot, kata dia, harus fokus meninggalkan legacy yang baik sebagai seorang pimpinan TNI.
"Statement Pak Wiranto sudah merupakan pernyataan sikap resmi dari pemerintah. Saya berharap dengan apa yang disampaikan Pak Wiranto tadi malam kegaduhan dapat segera diakhiri dan tidak ada polemik terkait hal ini lagi," ucap Charles.
Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyampaikan, ada institusi yang berencana mendatangkan 5.000 pucuk senjata secara ilegal dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Indonesia. Gatot menyampaikan, TNI akan mengambil tindakan tegas jika hal tersebut dilakukan, tidak terkecuali apabila pelakunya berasal dari keluarga TNI bahkan seorang jenderal sekalipun.
Lebih lanjut, Gatot menegaskan, nama Presiden Jokowi pun dicatut agar dapat mengimpor senjata ilegal tersebut. "Mereka memakai nama Presiden, seolah-olah itu yang berbuat Presiden, padahal saya yakin itu bukan Presiden, informasi yang saya dapat kalau tidak A1 tidak akan saya sampaikan di sini. Datanya kami akurat, data intelijen kami akurat," kata dia.
Namun pernyataan Panglima itu dibantah Menkopolhukam Wiranto yang menjelaskan bahwa pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo soal ada institusi non-militer yang berencana mendatangkan 5.000 pucuk senjata secara ilegal adalah keliru. Yang benar, kata dia, institusi non-militer yang berniat membeli senjata itu adalah Badan Intelijen Negara (BIN) untuk keperluan pendidikan.
Jumlahnya pun tak mencapai 5.000 pucuk, tetapi hanya 500 pucuk. BIN juga sudah meminta izin ke Mabes Polri untuk pembelian senjata itu. Izin tak diteruskan ke TNI lantaran spesifikasi senjata yang dibeli BIN dari Pindad itu berbeda dengan yang dimiliki militer.
Sumber : Kompas

Kritik Ke Prabowo, PDIP: Jangan Gunakan Cara Murahan


Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Charles Honoris mengkritik Prabowo Subianto karena menganggap bantuan yang diberikan Indonesia untuk warga etnis Rohingya hanyalah bentuk pencitraan.
“Saya berharap tidak ada pihak-pihak yang menggunakan cara-cara murahan seperti menunggangi isu Rohingya untuk mendegradasi kerja-kerja pemerintahan Jokowi-JK,” kata Charles Honoris kepada wartawan, Minggu (17/9).
Menurut Charles, pemerintahan Jokowi sedang melakukan segala upaya yang dimungkinkan untuk segera menghentikan siklus kekerasan di Rohingya. Presiden Jokowi sudah mengirim Menlu Retno untuk menemui baik petinggi sipil maupun militer di Myanmar.
Di forum-forum internasional, kata Charles, pemerintah juga berupaya menggalang komunitas internasional untuk memberi tekanan kepada Myanmar agar kekerasan harus segera dihentikan.
“Lalu saya ingin kembali bertanya kepada pak Prabowo apa yang harus dikerjakan pemerintah tidak disebut pencitraan? Apakah harus mengirim pesawat tempur untuk mengebom Yangon? Apakah harus mengirimkan prajurit TNI ke Myanmar untuk melakukan invasi militer? Atau apa?” tanya Charles.
Menurutnya, Myanmar adalah negara berdaulat. Oleh karena it, intervensi militer harus melalui mekanisme hukum internasional seperti resolusi Dewan Keamanan PBB.
Charles menegaskan pemerintah sedang berupaya maksimal melalui opsi-opsi yang tersedia untuk menghentikan siklus kekerasan di Myanmar.
Sumber : JPNN

PDI-P: Pernyataan Prabowo Mengada-Ada...


Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Charles Honoris mempertanyakan pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menyebut bantuan pemerintah RI untuk kaum Rohingya adalah pencitraan.
"Statement Prabowo mengada-ada dan tidak berdasar. Pemerintahan Jokowi sedang melakukan segala upaya yang dimungkinkan untuk segera menghentikan siklus kekerasan di Rohingya," kata Charles kepada Kompas. com, Minggu (17/9/2017).
Charles menegaskan, Presiden Joko Widodo sudah mengirim Menlu Retno Marsudi untuk menemui baik petinggi sipil maupun militer di Myanmar. Di forum-forum internasional, pemerintah juga berupaya menggalang komunitas internasional untuk memberi tekanan kepada Myanmar agar kekerasan harus segera dihentikan. Bantuan kebutuhan pokok juga sudah dikirimkan.
"Lalu saya ingin kembali bertanya kepada Pak Prabowo apa yang harus dikerjakan pemerintah agar tidak disebut pencitraan?" kata Charles.
"Apakah harus mengirim pesawat tempur untuk mengebom Yangon? Apakah harus mengirimkan prajurit TNI ke Myanmar untuk melakukan invasi militer? Atau apa?" tambah dia.
Anggota Komisi I DPR ini menegaskan, Myanmar adalah negara berdaulat. Oleh karena itu, intervensi militer harus melalui mekanisme hukum internasional seperti resolusi Dewan Keamanan PBB.
Oleh karena itu, pemerintah tak bisa bergerak sembarangan. Pemerintah sedang berupaya maksimal melalui opsi-opsi yang tersedia untuk menghentikan siklus kekerasan di Myanmar.
"Saya berharap tidak ada pihak-pihak yang menggunakan cara-cara murahan seperti menunggangi isu Rohingya untuk mendegradasi kerja-kerja pemerintahan Jokowi-JK," ucap Charles.
Prabowo sebelumnya menganggap bantuan kemanusiaan yang diberikan Indonesia untuk warga etnis Rohingya di Rakhine State, Myanmar adalah bentuk pencitraan Presiden Joko Widodo.
"Kalaupun kita sekarang kirim bantuan menurut saya itu pencitraan. Kirim bantuan pun tak sampai kadang-kadang. Jadi saudara-saudara di sini saya harus kasih tahu supaya tidak emosional," kata Prabowo di Bundaran Patung Kuda, Jakarta, Sabtu (16/9/2017).
Padahal menurut Prabowo, langkah yang bisa dilakukan Pemerintah untuk membantu Rohingya adalah dengan menjadikan Indonesia sebagai negara yang disegani di dunia.
"Percaya sama saya, kalau kita kuat kaum Rohingya kita bantu, kita beresin. Kita harus kuat untuk bantu orang lemah, tidak bisa lemah bantu lemah, miskin bantu miskin," tambah dia.
Sumber : Kompas

Tak Rela Prabowo Tuding Jokowi Pencitraan Soal Rohingya


Politikus PDI Perjuangan Charles Honoris tak bisa menerima pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menuding pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) melakukan pencitraan dengan membantu etnis Rohingya yang kini di tempat-tempat pengungsian di Myanmar. Anggota Komisi I DPR yang membidangi urusan luar negeri itu bahkan menyampaikan pernyataan keras untuk mengkritik Prabowo.
"Statement Prabowo mengada-ada dan tidak berdasar. Pemerintahan Jokowi sedang melakukan segala upaya yang dimungkinkan untuk segera menghentikan siklus kekerasan di Rohingya," ujar Charles dalam pernyataan tertulisnya, Minggu (17/9).
Lebih lanjut Charles mengatakan, Presiden Jokowi sudah mengirim Menteri Luar Negeri Retno P Marsudi untuk menemui tokoh-tokoh penting di Myanmar, termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi. Selain itu, pemerintahan Presiden Jokowi juga berupaya menggalang komunitas internasional untuk memberi tekanan kepada Myanmar agar menghentikan kekerasan terhadap warga Rohingya.
"Lalu saya ingin kembali bertanya kepada Pak Prabowo apa yang harus dikerjakan pemerintah agar tidak disebut pencitraan? Apakah harus mengirim pesawat temput untuk mengebom Yangon (kota di Myanmar, red)? Apakah harus mengirimkan prajurit TNI ke Myanmar untuk melakukan invasi militer? Atau apa?" ujar Charles.
Menurut Charles, Myanmar merupakan negara berdaulat sehingga untuk melakukan intervensi militer harus melalui mekanisme hukum internasional seperti resolusi Dewan Keamanan PBB. Karena itu, katanya, pemerintah Indonesia berupaya maksimal melalui opsi-opsi yang tersedia untuk menghentikan siklus kekerasan di Myanmar.
Charles pun mengingatkan semua pihak tidak menunggangi isu Rohingya untuk komoditas politik. "Saya berharap tidak ada pihak-pihak yang menggunakan cara-cara murahan seperti menunggangi isu Rohingya untuk mendegradasi kerja-kerja pemerintahan Jokowi-JK," pungkas anak buah Megawati Soekarnoputri di PDIP itu.
Sebelumnya Prabowo saat ikut Aksi Bela Rohingnya di kawasan Silang Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (26/9) menganggap bantuan kemanusiaan untuk etnis minoritas muslim di Myanmar itu hanyalah bentuk pencitraan. Prabowo beralasan, pemerintah Indonesia semestinya bisa disegani sehingga bisa melakukan upaya maksimal dalam membantu warga Rohingya yang terusir dari Myanmar.
Sumber : JPNN

Politikus PDIP Minta Polri Bongkar Jaringan Lain Setelah Saracen


Anggota Komisi I DPR Charles Honoris meminta kepolisian membongkar jaringan penyebar isu SARA lainnya yang serupa dengan grup Saracen. Dia mengatakan masih ada puluhan ribu situs hoax yang digunakan untuk penyerangan terkait pemilu.

"Saya mendapatkan informasi bahwa ada jutaan akun dan puluhan ribu situs hoax yang sudah disiapkan untuk menghadapi perhelatan politik di tahun 2018 dan 2019," ujar Charles dalam keterangan tertulis, Jumat (25/8/2017).

Charles menuturkan hal tersebut dapat mengancam persatuan bangsa karena bisa memecah belah suara rakyat.

"Tentunya hal ini dapat mencederai iklim demokrasi yang sehat menjelang pilkada dan pemilu, dan lebih lagi mengancam persatuan bangsa," kata Charles.
Politikus PDIP itu meminta Polri bisa mengungkap dan menangkap jaringan-jaringan lainnya. Sebab, menurut Charles, penyebaran hoax dan ujaran kebencian adalah pelanggaran pidana yang mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Oleh karena itu, saya berharap Polri terus melanjutkan pengungkapan dan penangkapan jaringan-jaringan lain yang menyebarkan ujaran kebencian dan hoax di media sosial," ucapnya.

Menurut Charles, ujaran kebencian dapat memicu konflik horizontal. Juga memperbanyak masyarakat melakukan radikalisme, bahkan aksi terorisme.

"Oleh karena itu, ujaran kebencian harus kita lawan bersama. Ditunggu pengungkapan dan penangkapan selanjutnya," tutur Charles.
Sebelumnya, polisi menangkap tiga pelaku berinisial JAS, MFT, dan SRN. Mereka dijerat dengan Pasal 45A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 22 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara dan/atau Pasal 45 ayat 3 jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman 4 tahun penjara.

Kepolisian menyebut kelompok Saracen sering menawarkan jasa untuk menyebarkan ujaran kebencian bernuansa SARA di media sosial. Setiap proposal mempunyai nilai hingga puluhan juta rupiah.
Sumber: Detik

Charles PDIP Apresiasi Polri Tangkap Sindikat Saracen


Keberhasilan Polri dalam mengungkap dan menangkap para pelaku kasus penyebar konten hoax dan ujaran kebencian serta konten yang bernada provokatif dengan isu SARA di berbagai media sosial patut diacungi jempol. Ini merupakan prestasi dari penegakan hukum di Indonesia.
"Polisi sudah melakukan tugasnya dengan menindak dan menangkap para pelaku penyebar hoax. Maka hal ini juga perlu diimbangi dengan dukungan dan peran serta seluruh masyarakat," kata Anggota Komisi I DPR Fraksi PDIP Charles Honoris dalam keterangan tertulis, Rabu (23/8/2017).
Dia menyatakan para pelaku yang tertangkap berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Hal ini yang masih perlu menjadi perhatian serius tentang pemahaman Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Upaya penegakan hukum terkait kasus hoax dan penyebaran kebencian memang tidak mudah karena juga harus melakukan pelacakan identitas oknum pelaku yang sebenarnya," ujar dia.
Seperti halnya keberhasilan Polri dalam membongkar kejahatan siber oleh jaringan Saracen yang melakukan banyak pelanggaran hukum terkait ITE. Hal ini juga menunjukkan adanya pihak-pihak ataupun jaringan kuat yang terorganisir yang secara sengaja menyebarkan keresahan masyarakat melalui ujaran kebencian ataupun hoax.
"Yang sangat mengkhawatirkan dari terbongkarnya sindikat Saracen ini adalah bawa ada motif transaksional antara sindikat penyebar kebencian dengan pihak yang memanfaatkan jasa sindikat tersebut untuk kepentingan yang sangat tidak terpuji," kata Charles.
Sumber: Liputan6

Charles Honoris: Dana Untuk Pos Perbatasan Harus Memadai


Anggota Komisi I DPR Charles Honoris mengatakan, pihaknya berkomitmen kuat untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI. Komitmen anggaran pertahanan dan TNI terus ditingkatkan hingga mendekati dua persen dari produk domestik bruto (PDB) di masa mendatang.
“Untuk anggaran Kementerian Pertahanan dan TNI kita mengikuti komitmen yang ada telah disepakati di komisi I yakni mendekati dua persen PDB,” ujar Charles Honoris di kompleks parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (16/8).
Peningkatan anggaran di Kemhan dan TNI juga tidak hanya untuk menambah alutista, tetapi juga untuk peningkatan anggaran intelijen. Sebab, fungsi intelijen sangat strategis untuk melindungi Indonesia dari berbagai ancaman.
Menurut politisi PDI Perjuangan itu, selama ini Komisi I tidak pernah menolak permintaan peningkatan kesejahteraan untuk prajurit TNI. Bahkan, Komisi I juga mendorong peningkatkan kesejahteraan purnawirawan TNI yang hingga saat ini banyak belum memiliki rumah tinggal sendiri.
“Jadi peningkatan kesejahteraan tidak hanya untuk anggota TNI tetapi juga pensiunan. Kita dorong agar mereka (pensiunan) punya rumah,” katanya.
Peningkatan anggaran untuk kesejahteraan prajurit dinilai sangat penting agar TNI semakin profesional dalam melaksanakan tugas-tugas negara. Selain itu, peningkatan anggaran juga sangat penting terutama untuk pembangunan pos-pos perbatasan.
“Anggaran untuk membangun pos-pos perbatasan harus memadai karena fungsinya sangat vital dalam menjaga dan melindungi wilayah NKRI,” tandasnya.
Sumber: BeritaSatu

Pemberian Senjata Api Kepada Gubernur Dinilai Tak Perlu


Pemberian senjata api oleh TNI kepada gubernur Bali, NTT dan NTB ditentang oleh sejumlah pihak karena dianggap tidak dilandasi alasan mendesak.
Anggota DPR Komisi I Charles Honoris menilai pemberian senjata bagi tiga gubernur yaitu Bali, NTT dan NTB melanggar undang-undang.
"Kami meningkatkan anggaran TNI dari tahun ke tahun agar bisa fokus mempertahankan keamanan perbatasan, misalnya. Ketika anggaran yang kami tingkatkan untuk bagikan senjata itu bukan merupakan sesuatu yang kita bahas dalam rapat TNI dan DPR. Menurut saya, tidak lazim dan melanggar aturan," kata Charles.
Charles mengatakan warga sipil dapat memiliki senjata api tetapi harus melalui persetujuan dan tes psikologi oleh kepolisian, dan itu pun hanya untuk digunakan latihan menembak ataupun olahraga.
Ditambahkannya pemberian senjata oleh TNI pada gubernur harus dihentikan.
"Menurut saya program seperti ini harus dihapuskan, dan tidak dilanjutkan lagi. Senjata yang dibagikan harus ikut peraturan Mabes Polri, karena yang boleh menggunakan di dalam negeri itu penegak hukum yaitu kepolisian dan kalau toh sipil itu harus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan kepolisian," kata anggota DPR dari Fraksi PDIP ini.
Beberapa hari lalu, Panglima Kodam Udayana Mayjen TNI Komaruddin Simanjuntak memberikan senjata api genggam atau pistol kepada tiga gubernur setelah para gubernur mengikuti pelatihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat PPRC di Natuna pada Mei lalu.

'Untuk pribadi?'

Komarudin dalam keterangan kepada wartawan menyatakan pemberian ini merupakan bentuk penghargaan bagi para gubernur dan bukan karena ada ancaman.
"Tidak ada kaitan dengan ancaman pemberian senjata kepada gubernur. Tidak ada. Statusnya adalah untuk pribadi pada yang bersangkutan. Kontrolnya kan ada suratnya itu, supaya rakyat mengerti bahwa di gubernur itu ada senjata," kata Komaruddin kepada wartawan usai acara penyerahan di Bali Kamis (10/08) pekan lalu.
Di Indonesia, aturan kepemilikan senjata api merujuk pada Perppu no 20 tahun 1960, dan dua aturan teknis melalui keputusan Kapolri dan Kementerian Pertahanan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertahanan No 7/2010, perorangan dapat memiliki senjata api dengan pembatasan, yaitu pejabat pemerintah tertentu, atlet menembak dan kolektor.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan pemberian senjata api kepada para gubernur juga tidak tepat karena mereka sudah dikawal kepolisian dan juga Satpol PP.
"(dalam aturan) Pejabat tertentu boleh, tetapi yang memang secara nilai strategis itu dirinya terancam, seperti di Papua itu diperbolehkan. Untuk di wilayah yang damai perlu dipertimbangkan, yang menilai situasi dan kondisi terancam kan kepolisian," jelas Al Araf.
"Panglima itu tidak bisa memberikan senjata api sebagai hadiah. Itu bahaya," tambah dia.
Al Araf mengatakan aturan untuk mengontrol peredaran senjata api dan juga bahan peledak di Indonesia masih lemah.
"Ada dua pintu; satu dari izin kepolisian, dan pengaturan oleh Kementerian Pertahanan. Terkait dengan hal itu ini harus diperbaiki oleh pemerintah dengan menbuat setingkat UU masa Orde Lama sekaligus menyelesaikan persoalan kontroversi senjata dan bahan peledak menjadi satu pintu, tidak dua pintu lagi.
"Ini kan harus ditata, supaya penggunaan senjata api di Indonesia terkontrol dengan baik. Kalau tidak terkontrol itu akan membuka peluang kejahatan" jelas Al Araf.
Al Araf menyatakan aturan kepemilikan senjata api dan bahan peledak harus diperketat agar tidak ada penyalahgunaan senjata api.
Sumber: BBCINDONESIA

Indonesia Still Debating Legal Loophole Allowing Terror Suspects To Go Free


In the early hours of Jun 25 this year, as Indonesia ushered in the holy Eid Fitr celebrations, two men scaled the fence of a police headquarters in Medan, North Sumatra and shouted “Allahu Akabar” (God is great) before stabbing an officer dead.
The attackers then tried to burn down the regional police headquarters before police opened fire, killing one of the attackers and wounding another.
The surviving attacker, Syawaluddin Pakpahan, 43, was a returnee from Syria who fought with the Free Syrian Army (FSA) for some six months before returning home at the end of 2013, Indonesian police said. 
When Pakpahan returned home, he was not detained by the police. Under Indonesia’s anti-terrorism law 15/2003, terror activities committed outside of the country cannot be prosecuted back home.
“Authorities knew Pakpahan is a returnee from Syria. But under the terrorism law, the police have no right to detain him unless he has committed a crime in Indonesia,” a counter-terrorism source told Channel NewsAsia, adding that Pakpahan has since been held following the Medan attack.
The gap in the terrorism law poses problems for Indonesia in its fight against militants and members of the Islamic State (IS), with ramifications for the rest of the region.
Around 400 returnees from Syria, some of whom were involved with IS, are not detained in the world’s largest Muslim country.
“Even if they (returnees) beheaded someone in Syria, under the current law we have no right to detain them unless they committed acts of terror in Indonesia,” Indonesian national police chief spokesman Setyo Wasisto, told Channel NewsAsia.
“The fact that they are free is dangerous as some of the returnees are radical and can brainwash others. They return home, lie low and become sleeping cells. When the moment is right, when they have weapons, they will launch attacks,” said Wasisto.
In Singapore, IS suspects can be held under the Internal Security Act (ISA) which provides for detention without trial for up to two years. In Malaysia, there are 8 returnees from Syria who were held under the Security Offences (Special Measures) Act 2012 (SOSMA), which provides for detention for up to 28 days. All eight have since been brought to trial and jailed, according to police.
Medan attacker Pakpahan was a classic example of a militant who lied low for years.
“He was monitored for three years. During that time, he did not join any militant network. There was nothing suspicious about his behavior. Perhaps that is a skill acquired from Syria,” said the counter-terrorism source.
“He took us by surprise. He was inspired to launch the knife attack following calls from IS to carry out attacks via the internet,” the source added.
“Out of the 400 returnees, police are monitoring around 300 for links to IS,” said police spokesman Martinus Sitompul.
The returnees are also not banned from travelling as they retain the right to hold their passports, worrying regional security officers over the possibility of radicalized individuals travelling to neighbouring countries to launch attacks.
“This is worrying as the returnees could potentially travel to Malaysia, Singapore, southern Philippines, sneak in and launch attacks,” aregional security source told Channel NewsAsia.
“They could also go to Marawi in the southern Philippines and take part in the fight there,” the security source added.
The city of Marawi is under siege by pro-ISIS militant groups which have held off the military for almost three months. The fighting has killed more than 700 people and drawn foreign fighters from Malaysia, Indonesia, Chechnya and Yemen.
Analysts have warned that IS has plans to carve out territory for the group in the southern Philippines as the area is awash with weapons and has many ungoverned spaces.
Indonesia’s terrorism law was hastily drawn up in 2003 in the aftermath of the 2002 Bali bombings which killed 202 people, to give a legal framework for Indonesian police to hunt and prosecute the perpetrators.
The law is seen by some observers to be lacking in preventive measures and inadequate in dealing with evolving terror threats.
While the law makes it illegal for anyone to run a terrorist cell, it falls short of extending punishment to anyone pledging support to or joining groups such as IS.
Revisions to the law are currently being debated in Parliament , a process which has taken more than a year. Lawmakers recently said they expect the debate to be completed by September.
President Joko Widodo has called upon Parliament to speed up the conclusion of the debate following twin suicide bombings in May at the Kampung Melayu bus terminal in Jakarta which killed three police officers and the two attackers.
In the meantime, terror threats have grown and taken on greater urgency as IS loses territories in the Middle East, driving its Asian foreign fighters to return home, radicalized and equipped with para-military training.
Amongst the proposed amendments is the right for authorities to detain and confiscate the passport of citizens who went abroad to join militant groups.
They also face the prospect of a maximum jail sentence of 15 years, if found guilty of taking part in paramilitary training inside and outside of the country, with the aim of planning or carrying out acts of terrorism. 
“Syrian returnees who are IS ideologues are the most dangerous as they are very radical. They consider everything at home (in Indonesia) to be infidel - infidel government, fellow Muslims who don’t share their views are also infidels,” said independent terrorism analyst Hasibullah Satrawi.
“The urge to carry out attacks against what they consider to be infidel is very strong. It is part of their breathing,” said Hasibullah.
“It is important for them to undergo the legal process so that if they are jailed, they can receive rehabilitation to undergo a de-radicalisation programme. Having said that, it is very difficult to rehabilitate the ideologues,” said Hasibullah.
IS returnees who subscribe to the terror group’s ideology reject the teachings of Muslim clerics who are not from IS, according to Hasibullah.
Charles Honoris, a legislator from the Indonesia Democratic Party-Struggle (PDIP), said the amendments also seek to criminalise hate speech, which he viewed as a root of terrorism.
“Police will then be able to prosecute hate speech and intolerance which are the roots of terrorism and radicalization as it spreads hatred,” Honoris told Channel NewsAsia.
Sumber: CHANNELNEWSASIA

Anggota Komisi I: Pelibatan Militer Terkait Terorisme Cukup Diatur UU TNI


Charles Honoris
Anggota Komisi I DPR RI Charles Honoris berpendapat bahwa pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme tidak perlu diatur dalam Rancangan Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ( RUU Antiterorisme).
Menurut Charles, ketentuan pelibatan kekuatan militer dalam operasi militer selain perang sudah diatur dalam Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI.
"Pelibatan TNI harus secara terbatas dan cukup diatur dalam UU TNI. Saya rasa presiden paham tupoksi TNI," ujar Charles dalam diskusi bertajuk 'Dinamika Gerakan Terorisme dan Polemik Revisi UU Anti-Terorisme', di Auditorium Nurkholis Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (31/5/2017).
Jika mengacu pada UU TNI, lanjut Charles, pengerahan kekuatan militer dalam penanganan terorisme harus berdasarkan pada keputusan politik presiden.
Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI menyebutkan bahwa TNI bisa dilibatkan dalam operasi militer selain perang, misalnya untuk mengatasi terorisme, dengan didasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara.
"Tidak ada yang halangi TNI terlibat asalkan ada keputusan politik negara," kata Charles.
Charles menjelaskan, UU Antiterorisme yang dibuat pasca-reformasi telah memilih menggunakan model penegakan hukum.
(Baca: Akademisi Kritisi Rencana Pemerintah Libatkan TNI dalam RUU Terorisme)
Jika TNI dilibatkan secara penuh dalam pemberantasan terorisme, kata Charles, maka hal itu akan bertentangan dengan amanat reformasi, sebab TNI akan masuk ranah penegakan hukum yang menjadi kewenangan kepolisian.
"Saya ingin mendudukan institusi pada porsinya masing-masing. Densus (Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri) dan polisi yang memiliki wewenang penegakan hukum," tutur Charles.
Sumber : Kompas 

kabar charles honoris

ASK

Popular Posts