Terpilihnya Caleg Muda Bukti Publik Inginkan Perubahan

charles honoris kader pdi perjuangan
JAKARTA – Kompetisi pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 yang banyak memunculkan nama-nama calon anggota legislatif pendatang baru berusia muda dinilai sebagai fenomena yang mengisyaratkan bahwa publik menginginkan perubahan positif. Terlebih sejumlah caleg muda terpilih itu berasal dari daerah pemilihan (dapil) “neraka” dan menyisihkan nama-nama tokoh yang sebelum Pileg digelar lebih diunggulkan.

“Di dapil yang disebut sebagai salah satu dapil ‘neraka’, politisi muda, bahkan pendatang anyar, mampu mengalahkan para politisi senior yang sudah lama malang melintang di panggung politik, dan memunyai nama besar. Ini menunjukkan publik sedang menginginkan perubahan,” kata Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Djayadi Hanan, ketika dihubungi, kemarin.

 Dia mencontohkan banyaknya caleg muda yang melenggang dari dapil DKI Jakarta III (Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Kepulauan Seribu). Menurutnya, pemilih di Jakarta lebih rasional dalam menentukan pilihannya dan lebih independen. Mereka punya informmasi relatif lebih baik dibanding pemilih kebanyakan.

“Apa yang terjadi di dapil DKI Jakarta III menunjukkan masyarakat Jakarta menginginkan pemimpin alternatif dan muda,” katanya.

Karena ingin perubahan, figur yang dianggap tak membawa perubahan atau figur yang tua cenderung mereka tinggalkan. “Anak muda, seperti Ahmad Sahroni, Charles Honoris, atau Aryo Djojohadikusumo, perolehan suaranya mengalahkan tokoh seperti Marzuki Alie atau Effendi Simbolon,” ujarnya.

Salah seorang caleg muda yang kemungkinan besar lolos ke Senayan, Charles Honoris, mengatakan dia tidak menyangka raihan suaranya bisa mengalahkan politisi senior yang lebih punya nama. Menurut politisi PDI Perjuangan itu, menjadi sebuah kebanggaan bagi dirinya bisa lolos dari dapil DKI Jakarta yang disebut dapil “neraka”.

“Saya sangat gembira, sebagai pendatang baru bisa membuktikan diri bersaing dengan politisi yang sudah senior,” kata dia.

Putra dari Luntungan Honoris, presiden komisaris PT Modernland Realty Tbk, itu mengatakan berdasarkan hasil rekapitulasi di KPU, dia memperoleh suara terbanyak. Di dapil “neraka” itu, dirinya sukses menangguk 96.842 suara. Perolehan suaranya mengalahkan politisi senior, seperti Effendi Simbolon dan Ketua DPR RI, Marzuki Alie, yang juga bertarung di dapil tersebut.

Di dapil ini, beberapa nama tenar bersaing memperebutkan delapan kursi. Para politisi senior yang bertarung di dapil itu antara lain Ketua DPR Marzuki Alie, Vera Febyanthy, Effendi Simbolon, Achmad Riyaldi, Adang Daradjatun, Tantowi Yahya, Ade Supriatna, Wirianingsih, dan Achmad Dimyati Natakusumah. Sejumlah pesohor juga tercatat ikut bertarung, yakni Farhat Abbas, Jeremy Thomas, dan Nasrullah (salah satu pemeran dalam sinetron Bajaj Bajuri).

Salah satu caleg muda yang sukses menangguk suara besar adalah Dodi Reza Alex Noerdin. Kepada Koran Jakarta, Dodi mengatakan, berdasarkan hasil pleno KPU Daerah Sumatra Selatan, dia berhasil meraup sekitar 204 ribu suara. “Saya pikir terbesar se-Indonesia untuk Partai Golkar,” kata Dodi. Dengan raupan suara sebesar itu, Dodi yang bertarung di dapil Sumsel I ini mungkin menjadi caleg peraih suara terbanyak se-Sumatra.

Sementara itu, peneliti Pol-Tracking Institute, Agung Baskoro, mengatakan fenomena terpilihnya caleg muda juga terjadi di banyak dapil sehingga beberapa nama tenar yang sering mewarnai parlemen tidak terpilih kembali. “Hal ini bisa terjadi karena, pertama, incumbent terjebak dengan skema popularitas yang tidak didukung dengan kerja-kerja publik yang jelas,” kata dia.Sementara para caleg baru, kata dia, terus turun ke bawah. Bahkan jauh sebelum masa kampanye, mereka rajin turun ke bawah menawarkan visi, misi, dan program baru yang lebih konkret.

Kedua, pola kampanye yang kreatif dan menarik menambah daya tarik para caleg pendatang anyar yang notabene masih berusia muda. “Sehingga publik menangkap kondisi ini sebagai harapan baru yang berpeluang memperbaiki nasib mereka,” katanya. ags/P-6

http://koran-jakarta.com/?11130-terpilihnya%20caleg%20muda%20bukti%20publik%20inginkan%20perubahan

PDIP Tuding Sidang Paripurna DPR Sudah Diatur

Sidang paripurna perdana DPR periode 2014-2019 yang menetapkan pimpinan DPR Setya Novanto Cs dari kubu Koalisi Merah Putih (KMP), dituding sudah diatur dan diskenariokan. Selain itu, persidangan yang dipimpin Popong Otje Djundjunan dari Golkar dan Ade Riza dari Gerindra itu juga berlangsung tanpa tata aturan bersidang.

“Sidang paripurna sudah diatur. Tujuannya untuk memaksakan paket yang mereka inginkan,” kata politisi PDIP Pramono Anung.

Tudingan serupa juga mengalir dari Ketua DPP Hanura Saleh Husin, parpol kolega PDIP di Koalisi Indonesia Hebat (KIH).  Saleh menyebut Popong Otje Djundjunan selaku Pimpinan DPR sementara bertindak layaknya diktator. Popong dinilai memaksakan kehendak tanpa memperhatikan masukan peserta sidang.

"Ini seperti diskenariokan. Jadi yang boleh bicara ya yang dia mau saja," imbuh Saleh.

Karena kecewa akan jalannya persidangan, empat fraksi pendukung Jokowi-JK pun memilih meninggalkan ruang sidang (walkout/WO). "Ya mau bagaimana lagi? Pimpinannya begitu. Harusnya diatur tata aturan bersidang. Ini tidak ada aturan main," kata Pramono usai WO di gedung DPR, Senayan, Kamis (2/10) dinihari.

PDIP menilai sidang paripurna tidak mengakomodir pendapat berbeda dari koalisi Jokowi-JK. "Kami menginginkan apa yang terjadi di sidang paripurna adalah teladan rakyat Indonesia. Ini proses pengambilan keputusan yang menurut kami seenaknya saja. Tidak menghargai hak perbedaan pendapat," kata Puan di gedung DPR, Jakarta, Kamis (2/10) dinihari.

"Tapi nggak tahu apa masalah sepertinya semua mikrofon di sidang paripurna tidak bisa dihidupkan sehingga kami merasa hak politik anggota kami tidak dihargai. Dalam setiap persidangan apa yang jadi kehendak koalisi Prabowo sepertinya lebih diuntungkan daripada teman-teman kami," sambung Puan.

Politikus PDIP Rieke Diah Pitaloka pun mengeluhkan soal mikrofon yang tidak menyala. Ia merasa suara para anggota tidak dihargai. "Silakan lihat nanti hasil pimpinan DPR seperti apa. Ini tatib yang memotong suara rakyat. Ini kemunduran untuk demokrasi," ucap Rieke.

"Kami sepakat PDIP Nasdem, PKB dan Hanura lebih baik tidak mengikuti keputusan dalam sidang paripurna. Kami tidak mau bertanggung jawab dan tidak mau terlibat dalam pengambilan keputusan dan kami keluar," tegas Puan.

Ketua DPP Hanura Saleh Husin mengaku pihaknya tidak rugi dengan melakukan aksi WO.  "Kami tak rugi mengambil langkah walkout dari proses yang tak demokratis," ujar Saleh.

Begitu pula dengan F-PKB. "Kami menilai pimpinan sidang tak demokratis. Oleh karena itu kami memilih untuk walkout," ujar Ketua DPP PKB Marwan Ja'far.

F-PKB memandang Popong selaku pimpinan terlalu memaksakan kehendak. Hal ini merupakan preseden buruk dari proses demokrasi. "Kami memilih walkout karena kami tak ingin bertanggungjawab atas proses pemilihan pimpinan DPR yang tak demokratis," imbuh Marwan.

Selain anggota Fraksi PDIP, Hanura, PKB, dan NasDem, ada dua politisi Partai Golkar yang juga ikut WO. Keduanya Mereka adalah Agus Gumiwang dan Nusron Wahid.

Kedua politisi muda Partai Golkar itu menilai pimpinan sidang tidak demokratis karena tak memberikan hak anggota untuk mengajukan interupsi. Keduanya WO meski Golkar tetap di dalam.

"Ya pasti itu sudah punya agenda-agenda tertentu dengan berbagai cara yang dia atur dan siasati seperti itu," ucap politisi Golkar Nusron Wahid.

Penilaian sebaliknya justru diberikan Ketua Fraksi Partai Demokrat (PD) Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas yang menilai jalannya sidang paripurna memilih pimpinan DPR demokratis. Dia juga menilai pimpinan DPR sementara Popong Otje Djunjunan atau Ceu Popong sudah melakukannya dengan baik.

"Ini proses pimpinan DPR yang sangat demokratis," kata Ibas di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (2/10) dinihari.
Sumber: http://www.harianterbit.com/read/2014/10/02/9169/25/25/PDIP-Tuding-Sidang-Paripurna-DPR-Sudah-Diatur

kabar charles honoris

ASK

Popular Posts