DPR: Pemerintah Perlu Ratifikasi Perjanjian

Charles Honoris (Kedua dari kanan)

Anggota Komisi I DPR, Charles Honoris mengatakan pemerintah harus melakukan ratifikasi perjanjian internasional terkait dengan mencegah, menanggulangi atau penindakan hukum dalam kasus perompakan.

Sebab, Indonesia merupakan negara penyumbang pertama kasus perompakan di dunia khususnya Asia Tenggara.

"Sangat perlu apalagi mengenai penyanderaan, karena hari ini kita sudah jadi korban penyanderaan, kita punya kepentingan besar untuk ratifikasi perjanjian itu," kata Charles di Jakarta, Kamis (28/7/2016).

Menurut dia, sampai saat ini Indonesia belum memiliki sebuah regulasi hukum nasional yang secara spesifik mengatur tentang perompakan. Oleh karena itu, untuk menunjukkan itikad baik pada dunia perlu meratifikasi itu.

"Misalkan Filipina sudah meratifikasi perjanjian mengenai penyanderaan, dengan perjanjian ini mereka wajib melakukan segala upaya pembebasan dan mengembalikan sandera di wilayah kedaulatan mereka," ujar anggota Fraksi PDI Perjuangan ini.

Ia menjelaskan memang secara umum penanganan segala kejahatan dan pelanggaran hukum di Iaut yurisdiksi nasional dilakukan oleh TNI Angkatan Laut, salah satu regulasi yang mendekati adalah yang tertulis dalam Pasal 438 KUHP.

Menurutnya, konvensi internasional itu antara lain International Convention Against The Taking of Hostages, tahun 1979, Convention for The Suppresion of Unlawful Acts Against The Safety of Maritime Navigation (SUA), tahun 1988 dan The Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery Against Ships in Asia (ReCAAP), tahun 2006.

Di samping itu, Charles mengatakan pemerintah harus melakukan langkah konkret seperti menjadi inisiator effective legal framework againts piracy and maritime crimes in Southeast Asia/kerangka hukum untuk ASEAN.

Tujuannya, agar tercipta komitmen bersama untuk mencegah, menangkal, menangkap dan menghukum pelaku kejahatan perompakan serta mendirikan pusat informasi bersama (intelligence sharing).

"Indonesia harus menjadi motor penggerak terwujudnya kesepakatan atas mekanisme yang efektif di ASEAN dalam memerangi perompakan dan kejahatan di laut," tandasnya

Sumber : INILAH.COM

Kepala Sandera Dipenggal, Momentum Gelar Operasi Senyap Libas Abu Sayyaf


Komisi I DPR menyayangkan aksi pemenggalan kepala  yang dilakukan Abu Sayyaf  terhadap John Ridsdel, salah satu sandera warga negara Kanada.

Tindakan biadab tersebut harus dijadikan momentum bagi negara lain yang warga negaranya disandera, termasuk Indonesia untuk menekan pemerintah Pilipina agar mengizinkan dilaksanakannya operasi senyap (silent operation). 

‎Demikian dikatakan Anggota Komisi I DPR, Charles Honoris kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (26/4) menyikapi aksi Abu Sayyaf tersebut.

Pemenggalan kepala Ridsdel tersebut dilakukan karena uang tebusan yang diminta tidak dibayar. Potongan kepala mantan wartawan Calgary yang alih profesi menjadi eksekutif pertambangan   ini dibungkus kantong plastik dan dibuang di pinggir jalan.

Kelompok Abu Sayyaf di Filipina nekat memenggal sandera asal Kanada, John Ridsdel, setelah uang tebusan yang diminta tidak dibayar. Potongan kepala korban dibungkus kantong plastik dan dibuang di pinggir jalan.

Kelompok Abu Sayyaf sebelumnya telah memberikan ultimatum agar empat sandera, yakni dua warga Kanada, satu warga Norwegia dan satu warga Filipina-ditebus masing-masing 300 juta peso. Batas ultimatum itu berakhir pada 25 April 2016 antara pukul 14.00 hingga pukul 15.00 waktu Filipina.

Selain John Ridsdel,  tiga sndera lainnya adalah Kjartan Sekkingstad (warga Norwegia), Robert Hall, 50 (warga Kanada), dan Marites Flor (warga Filipina).

Menurut Charles Honoris, aksi pemenggalan kepala Ridsdel harus disikapi secara serius oleh negara yang warga negaranya disandera oleh Abu Sayyaf. Pemenggalan kepala tersebut harus dijadikan momentum untuk memakai kekuatan militer dengan menggelar operasi senyap gabungan.

"Kuncinya di situ. Sebab tidak tertutup kemungkinan pemenggalan yang sama akan dilakukan kepada sandera lainnya. Secepatnya silent operation," ujar politisi PDI Perjuangan ini.

‎Dia lebih setuju digelar operasi senyap ketimbang menyerahkan uang tebusan kepada kelompok bersenjata tersebut. Kalau saja sandera yang dipenggal adalah warga negara dari negara besar seperti Amerika Serikat, Navy SEAL yang diturunkan untuk melakukan operasi langsung membebaskan sanderta, termasuk melibas Abu Sayyaf.

Untuk menggelar operasi senyap, pemerintah Kanada, Norwegia dan Indonesia, memang harus meminta izin dari pemerintah Indonesia. Negara tersebut menurut Charles harus menekan pemerintah Pilipina. Indonesia misalnya diyakini bisa bargaining agar pemerintah Pilipina memberikan izin digelar operasi senyap.

"Kalau negara-negara itu bersatu maka tekanan kepada pemerintah Pilipina menjadi efektif. Namun sejauh ini pemerintah kita lamban dan terkesan takut, khawatir kalau dianggap berpihak dalam konflik Moro," jelas Charles Honoris.

‎"Sebab selama ini Indonesia menjadi mediator dalam konflik di sana," kata Charles.

Namun hal itu seharusnya tidak mengganggu sikap pemerintah dalam menekan pemerintah Pilipina. Pemerintah Indonesia perlu menyentil pemerintah Pilipina kalau persoalan Abu Sayyaf tidak lagi soal pemberontakan, tapi masalah pembajakan dan penculikan. Apalagi selama ini, Pilipina dikenal sebagai pelabuhan teroris.

"Nah kalau digelar operasi siluman tak hanya membebaskan sandera, kalai perlu sekalian memberantas kelompok tersebut dan sekaligus membuktikan komitmen negara dalam memberantas terorisme yang telah menjadi musuh bersama," demikian Charles. 
Sumber : RMOL

kabar charles honoris

ASK

Popular Posts