Kepala Sandera Dipenggal, Momentum Gelar Operasi Senyap Libas Abu Sayyaf


Komisi I DPR menyayangkan aksi pemenggalan kepala  yang dilakukan Abu Sayyaf  terhadap John Ridsdel, salah satu sandera warga negara Kanada.

Tindakan biadab tersebut harus dijadikan momentum bagi negara lain yang warga negaranya disandera, termasuk Indonesia untuk menekan pemerintah Pilipina agar mengizinkan dilaksanakannya operasi senyap (silent operation). 

‎Demikian dikatakan Anggota Komisi I DPR, Charles Honoris kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (26/4) menyikapi aksi Abu Sayyaf tersebut.

Pemenggalan kepala Ridsdel tersebut dilakukan karena uang tebusan yang diminta tidak dibayar. Potongan kepala mantan wartawan Calgary yang alih profesi menjadi eksekutif pertambangan   ini dibungkus kantong plastik dan dibuang di pinggir jalan.

Kelompok Abu Sayyaf di Filipina nekat memenggal sandera asal Kanada, John Ridsdel, setelah uang tebusan yang diminta tidak dibayar. Potongan kepala korban dibungkus kantong plastik dan dibuang di pinggir jalan.

Kelompok Abu Sayyaf sebelumnya telah memberikan ultimatum agar empat sandera, yakni dua warga Kanada, satu warga Norwegia dan satu warga Filipina-ditebus masing-masing 300 juta peso. Batas ultimatum itu berakhir pada 25 April 2016 antara pukul 14.00 hingga pukul 15.00 waktu Filipina.

Selain John Ridsdel,  tiga sndera lainnya adalah Kjartan Sekkingstad (warga Norwegia), Robert Hall, 50 (warga Kanada), dan Marites Flor (warga Filipina).

Menurut Charles Honoris, aksi pemenggalan kepala Ridsdel harus disikapi secara serius oleh negara yang warga negaranya disandera oleh Abu Sayyaf. Pemenggalan kepala tersebut harus dijadikan momentum untuk memakai kekuatan militer dengan menggelar operasi senyap gabungan.

"Kuncinya di situ. Sebab tidak tertutup kemungkinan pemenggalan yang sama akan dilakukan kepada sandera lainnya. Secepatnya silent operation," ujar politisi PDI Perjuangan ini.

‎Dia lebih setuju digelar operasi senyap ketimbang menyerahkan uang tebusan kepada kelompok bersenjata tersebut. Kalau saja sandera yang dipenggal adalah warga negara dari negara besar seperti Amerika Serikat, Navy SEAL yang diturunkan untuk melakukan operasi langsung membebaskan sanderta, termasuk melibas Abu Sayyaf.

Untuk menggelar operasi senyap, pemerintah Kanada, Norwegia dan Indonesia, memang harus meminta izin dari pemerintah Indonesia. Negara tersebut menurut Charles harus menekan pemerintah Pilipina. Indonesia misalnya diyakini bisa bargaining agar pemerintah Pilipina memberikan izin digelar operasi senyap.

"Kalau negara-negara itu bersatu maka tekanan kepada pemerintah Pilipina menjadi efektif. Namun sejauh ini pemerintah kita lamban dan terkesan takut, khawatir kalau dianggap berpihak dalam konflik Moro," jelas Charles Honoris.

‎"Sebab selama ini Indonesia menjadi mediator dalam konflik di sana," kata Charles.

Namun hal itu seharusnya tidak mengganggu sikap pemerintah dalam menekan pemerintah Pilipina. Pemerintah Indonesia perlu menyentil pemerintah Pilipina kalau persoalan Abu Sayyaf tidak lagi soal pemberontakan, tapi masalah pembajakan dan penculikan. Apalagi selama ini, Pilipina dikenal sebagai pelabuhan teroris.

"Nah kalau digelar operasi siluman tak hanya membebaskan sandera, kalai perlu sekalian memberantas kelompok tersebut dan sekaligus membuktikan komitmen negara dalam memberantas terorisme yang telah menjadi musuh bersama," demikian Charles. 
Sumber : RMOL

55 Pemuda dari 5 Negara MIKTA Bertemu di Seoul


 redpassion_large

Kelompok negara-negara MIKTA yang terdiri atas Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia, mengumpulkan 55 pemuda untuk bertemu di Seoul, 6-11 Juli 2015, dalam Young Professional Camp. Salah seorang wakil Indonesia menuliskan laporannya mengenai forum tersebut.
Bulan ini di Seoul, Korea Selatan, 55 pemuda dari kelima negara akan menindaklanjuti kesepakatan yang dicapai para pejabat negara, dalam sesi diskusi dan pertukaran pengetahuan 6 hari bertajuk ‘MIKTA Young Professional Camp’.
Negara anggota MIKTA
Sesuai dengan namanya, anggota MIKTA terdiri dari 5 negara: Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia. Meski kelima negara ini berasal dari kawasan dan budaya yang berbeda, kelima-nya mengaku memiliki kesamaan nilai.
Kelima negara sama-sama negara demokrasi dengan perekonomian terbuka yang berimbas pada tingkat pertumbuhan. Mereka juga mengklaim bahwa lokasi masing-masing negara begitu strategis sehingga mampu menjadi penghubung antar kawasan.
Alasan dibentuknya MIKTA
Munculnya isu-isu global baru dalam sektor keuangan dan ekonomi, keamanan, lingkungan serta pembangunan berkelanjutan memicu kelima negara untuk memikirkan kerangka kerjasama yang lebih konkrit. Terlebih, munculnya aktor-aktor non-negara dan dominasi kawasan memicu komplikasi dalam penerapan struktur pemerintahan global.
Kelima negara berpikir bahwa dunia perlu untuk meningkatkan kemitraan inovatif yang menyediakan solusi pragmatis dan konstruktif atas sejumlah tantangan tersebut. Karenanya, MIKTA kemudian dibentuk pada tahun 2013, Lima Menteri Luar Negeri dari negara anggota MIKTA bertemu pertama kali pada tanggal 25 September 2013 di sela-sela sidang Majelis Umum PBB di New York.
MIKTA Young Professional Camp
MIKTA Young Professional Camp (MPC) adalah salah satu agenda penting dalam MIKTA. Tahun ini, MPC diadakan untuk pertama kalinya oleh Kementerian Luar Negeri Korea Selatan di Seoul, dari tanggal 6-11 Juli.
Acara yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik akan agenda global, memperkuat solidaritas di antara partisipan yang memiliki pengalaman dan latar belakang berbeda, serta mencari peluang kolaborasi.
MPC akan dihadiri 55 profesional muda dari 5 negara yang akan berdiskusi seputar masalah global dan berbagi pemahaman mereka akan isu tersebut. Nurina Savitri menjadi salah satu peserta asal Indonesia yang diundang mengikuti MIKTA Young Professional Camp
Sumber : news.metrotvnews.com

kabar charles honoris

ASK

Popular Posts